.quickedit{ display:none; }
Hatur saur ka urang Lembur, bagea ka baraya nu ti kota

Senin, 08 Agustus 2011

Klarifikasi Wilayatul Faqih, Marja’iyah, Rahbari dan Integritas Nasionalisme


Saya baru saja membaca artikel Hamid Basyaib yang dipublish friend Zen Aljufri, yang berisikan kritik terhadap sistem pemerintah Iran dan dampak negatif penyatuan agama dan politik dalam negara yang disebutnya secara sinis “teokrasi”.

Artikel tersebut jelas ditulis oleh orang yang tidak memahami sama sekali landasan rasional sistem kepemimpinan Wilayatul Faqih dan landasan teologis di bawahnya. Karena itu, saya terdorong untuk mempublish lagi artikel sederhana tentang Wilayatul Faqih, Marja’iyah dan Rahbari.Tentu, ini semua semata-mata pandangan pribadi saya yang sama sekali tidak representatif dan tidak layak dijadikan referensi.

Wilayah dan Dimensi-dimensinya
Wilayah secara kebahasaan bisa berarti kekuasaan atau kewenangan. Secara keistilahan, ia adalah otoritas yang meniscayakan ketaatan. Istilah wilayah digunakan di hampir seluruh literatur Islam, Syiah dan Sunni. Kalangan sufi lebih sering menggunakannya.

Faqih secara kebahasaan berarti orang yang memiliki pengetahuan mendalam. Secara keistilahan, faqih adalah orang yang memahami hukum fikih. Istilah ini juga digunakan oleh Sunni dan Syiah.

Secara umum, berdasarkan relasinya, wilayah dapat dilihat dari dua dimensi:
1) Wilayah thuliyah (vertikal) adalah hubungan hirarkis yang meniscayakan sikap taat terhadap Allah, Nabi, Washi dan faqih. “…taatilah Allah dan tatatilah Rasul dan para pemimpin di antara kalian” (QS. 32);
2) Wilayah aradhiyah (horisontal) adalah hubungan mutual antar sesama anggota masyarakat yang meniscayakan sikap saling menghargai dan melindungi hak sesama berdasarkan hukum legal (syari’ah).

Wilâyah vertikal bermacam dua:
1) Wilayah takwiniyah, yaitu hak untuk menggunakan (memanfaatkan – tasarruf) segala yang ada di dunia dan hal-hal yang bersifat natural (takwînî). Menurut pendapat terbanyak, hak ini hanya dimiliki oleh Allah. Mu’zijat dan karamah para nabi dan wali adalah jelmaan wilâyah Takwînîyah tersebut.

2) Wilayah tasyri’iyah, yaitu hak untuk melakukan legislasi (undang-undang), memerintah dan melarang.
Secara vertikal, nabi dan imam, dengan restu dari-Nya, menurut Syiah Imamiah, berhak untuk memerintah dan melarang masyarakat. Dan menurut kaum ushuli, faqih (mujtahid) juga memilikinya, kendati mereka berbeda tentang batasannya..( Hokûmat-e Eslâmi : 56-57)

Wilayah tasyri’yah adalah mekanisme pengaturan hubungan seorang mukmin dengan Allah dan para pemegang otoritas ilahi, mulai dari nabi, washi hingga faqih, juga hubungan antara seorang mukmin dan masyarakat .

Pada dasarnya wilayah tasyri’yah tidak hanya dimiliki seorang faqih dan mujtahid. Seorang ayah, misalnya, dalam batas-batas tertentu memiliki wilayah. Karena itu mungkin pembagian di bawah ini menjadi menjadi penting untuk diketahui.

Wilayah tasyri’yah bermacam dua; yaitu
Wilayah Istiqlaliyah (kewengan mandiri, independen); dan
Wilayah Istirakiyah (kewenangan kolektif).

Wilayah istiqlaliyah dapat dibagi tiga:
1) Wilayah berkenaan dengan penderita (pasien), seperti anak kecil yang hendak melaksanakan ibadah haji, namun seluruh rangkaian manasiknya dilakukan oleh walinya, seperti berniat, mengenakan ihram, berthawaf dan sebagainya.

2) Wilayah berkenaan dengan pelaku antara (fa’il, subjek), seperti ayah yang menjadi wali atas anaknya, berdasarkan pertimbangan kepentingan .
3) Wilayah berkenaan dengan penderita, namun tidak didasari oleh kepentingan wali, seperti wilayah seorang washi (penerima wasiat) orang yang meninggal (mayit) atas anak-anaknya yang masih kecil, tapi didasarkan pada kepentingan muwalla alaih (yang berada dalam wewenang penerima wasiat dari orang yang telah wafat.

Pengertian Wilayah Faqih
Sebelum memasuki tema ini, yang mungkin penting untuk diulas adalah bentuk anatomi dan struktur masayarakat ushuli.Dalam periode ‘kegaiban panjang’ terbentuklah dua pola pemahaman keagamaan dalam masyarakat Syiah Imamiyah. Para penganut aliran akhbari yang konservatif hanya menerima dua bentuk lembaga otoritas, yaitu otoritas Nabi dan otoritas Imam. Bagi mereka, periode ‘kegaiban panjang’ adalah fase “pertanggungjawaban individual”, bahwa setiap indvidu, betapapun sulitnya, harus menyimpulkan hukum dari prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan oleh nabi dan para Imam .

Cara pandang kaum akhbari ini ditentang oleh kalangan ushuli yang menganggap fase pasca otoritas Imam (kegaiban panjang) sebagai fase otoritas Faqih. Yaitu fase ketika umat Islam dari kelompok kedua meyakini faqih atau mujatahid yang ditunjuk secara langsung atau tidak langsung oleh Imam sebagai pemegang hak mewakili Nabi dan Imam dalam membimbing dan mengawal mereka berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw.

Seiring dengan perjalanan waktu, terbentuklah sebuah struktur lembaga dan hirarki keagamaan yang rapi dan kokoh. Pada fase terakhir ini tiga cara untuk melaksanakan syariah telah ditetapkan secara general, yaitu ijtihad, ihtiyath, dan taqlid. Inilah yang kemudian menjadi pandangan dominan, dan selanjutnya kabar tentang akhbari hanya ditemukan melalui disuksi dan polemik buku .


Muthlaqah dan Muqayyadah
Yang perlu digaris-bawahi ialah bahwa Syiah Imamiyah sekarang adalah produk aliran ushuli yang pada dasarnya meyakini konsep Wilayah faqih. Sepanjang sejarah Syiah tidak ditemukan seorang Faqih pun yang berkeyakinan bahwa Faqih tidak memiliki wilayah. Namun yang masih diperdebatkan adalah batas dan ruang lingkup wilâyah tersebut .

Tentang masalah ini, Kaum ushuli terbagi dua. Kelompok pertama meyakini Wilayatul Faqih al-Muqayyadah. Kelompok kedua meyakini Wilayatul Faqih al-Mutlaqah. Bagi kelompok Ushuliyun pertama, Wilayatul Faqih Al-Khashah hanyalah sebuah lembaga otoritas yang berfungsi sebagai penyimpul dan penjelas hukum tradisional yang meliputi tata cara ibadah murni dan mu’amalah, dan mewakili Imam dalam fungsi yudikatif dan pengelolaan dana-dana syar’I (al-huquq al-syar’iyah).

Imam Khomeini q.s adalah salah satu faqih yang meyakini universalitas wilayah seorang faqih. Inilah yang disebut dengan konsep al-wilayah al-muthlaqah. Menurut para pendukungnya, al-wilâyah al-muthlaqah tidak meniscayakan absultarianisme sehingga dapat bertindak secara mutlak sehendaknya. WF muthlaqah dibatasi oleh prinsip-prinsp utama aqidah dan hukum-hukum qath’i. Predikasi “al-muthlaqah” semata-mata didasarkan pada proyeksi antisipatif agar faqih yang berwilayah dapat turun tangan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sangat vital dan mendesak (umurun hisbiyah).

Predikat muthlaqah sendiri dimaksudkan sebagai terminologi yang dibatasi pula oleh agama. Karena tugas utamanya adalah memelihara dan menjaga Islam, maka seandainya ia mengubah Ushuluddin dan hukum-hukum syari’at dan menentangnya, maka secara otomatis ia kehilangan wilayah-nya. Kemutlakan wewenang faqih hanyalah antispasi jika terjadi benturan (tazâhum) antara suatu perkara yang penting dengan perkara yang lebih penting.

Dalam situasi demikian, dengan wewenangnya yang mutlak, seorang Faqih dapat mengorbankan perkara yang penting tersebut demi terjaganya perkara yang lebih penting. Faqih memiliki dua opsi hukum terhadap eksekusi, yaitu hukum primer (awwali) yang bersumber dari sumber-sumber utama syariat; dan hukum tsanawi (sekunder), juga disebut hukm hukumati yang didasarkan pada asa-asa kemalahatan yang kontekstual. Dengan wewenang mutlaknya, seorang faqih dapat melarang masyarakat yang berada dalam domain kekuasaannya untuk menunaikan haji untuk sementara waktu demi pertimbangan maslahat (hukum tsanawi) yang disimpulkannya.

Asas hilangnya predikat hukum sebagai akibat dari lenyapnya subjek hukum juga menjadi alasan pengambilan opsi demikian .Mungkin sampai disini hampir tidak ada perselisihan yang berararti seputar Wilayah faqih.

Mujtahid, Marja’ dan Rahbar
Kadang karena ketidakjelasan maksud dan arti sebuah kata, kesimpulan yang diperoleh bisa sangat melenceng. kadang Tema-tema ‘ikutan’ dalam konsep WF sering kali menimbulkan pertanyaan bahkan preadugan negatif, antara tentang kedudukan marja’iyah dan mujtahid, dan tentang jangkauan kewenangan itu di luar batas geografis sebuah masyarakat yang secara struktural berada di dalam sistem Wilayah Faqih, tentang pola hubungannya yang bersifat struktural institusional ataukah semata kutural spiritual dan sebagainya .
Untuk membicarakan tema-tema ‘ikutan’ tersebut, harus disepakati terlebih dahulu pengertian komprhensif sejumlah kata kunci. Ada beberapa kata yang maknanya sepintas nyaris sama adengan faqih, sperti mujtahid, marja dan rahbar. Ijtihad adalah potensi atau kemampuan menyimpulkan hukum yang elementer dan mengindentifikasi tugas operasional dalam bidangnya. Sebagian ulama mendefiniskan ijtihad sebagai “mencurahkan jerih payah demi memperoleh hujjah atas suatu realitas.” (Ar-Ra’yus-Sadid, Mushlathahat Al-Ahwal, 25).

Mujtahid adalah mukallaf yang mencurahkan tenaga dan jerih payah dengan cara-cara legal secara rasional dan konvensional guna menghasilkan sebuah dalil atas hukum dan fatwa berdasarkan sumber-sumber ijtihad.
Ada dua macam mujtahid, mujathid kulli (universal), yaitu seseorang yang ijtihadnya meliputi semua bidang hukum dhanni; dan mujathid juz’i atau mutajazzi (partikular), yaitu seseorang ijtihadnya hanya meliputi sebagian bidang hukum zhanni .

Mujathid kulli (muthlaq) bermacam dua; mujtahid yang tidak ditaqlid; dan mujathid yang ditaqlid, yaitu dijadikan sebagai rujukan dalam masalah-masalah hukum dzanni (yang merupakan area ijtihad). Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan antara mujathid (baca: mujtahid kulli) dan marja’ tierletak pada ada dan tidaknya seseorang yang menjadi muqallidnya. Memang ada sejumlah syarat tambahan bagi mujtahid yang menjadi marja’, seperti a’lamiyah dan laki-laki, menurut pendapat yang populer.

Marja’ biasanya memudahkan para muqallidnya yang berada di daerah yang jauh jaraknya dengan tempat ia berada dengan menunjuk seseorang atau beberapa orang sebagai perantara (wakil, dalam bahasa fikih, berarti agen, bukan deputi) melalui surat yang secara eksplisit mengeaskan fungsi dan ruang lingkup wakalah (keperantaraan).

Wewenang setiap ‘wakil’ tidak mesti sama, bergantung pada isi surat pemberian izin (ijazah). Muqallid tidak wajib menjadikan wakil sebagai perantara apabila merasa bisa berhubungan secara langsung dengan marja’nya. Wakil juga tidak wajib memberitahukan ke-wakil-annya, karena biasanya isi suratnya hanya mengaskan ‘diizinkan’ (ma’dzun). Ia bisa menggunakan hak dan izin wakalah, dan bisa pula tidak menggunakannya berdasarkan alasan-alasan kemaslahatan.Sejauh yang saya ketahui, wakalah adalah hak memperantarai muqallid dengan marja’ dalam penyerahan dana-dana syar’i.

Namun ada surat wakalah yang memberikan izin penggunaan wewenang dalam apa yang diistilahkan dengan ‘al-umur al-hisbiyah’. Singkatnya, wakalah adalah agensi yang tidak mengikuti kriteria tertentu, karena pemberian izinnya bersifat personal.

Sejauh yang saya pahami, setiap mujathid adalah faqih, dan setiap faqih memiliki potensi wilayah, yaitu masyru’iyah (legitimasi ketuhanan, divine legitimacy, yang diperoleh dari Tuhan secara tidak langsung). Namun hanya satu faqih yang bisa mengaktualisasikan potensi wilayahnya. 

Aktualisasi potensi ini hanya bisa dilakukan mana kala faqih memperoleh ‘maqbuliyah’ (akseptabilitas), yaitu ketika sejumlah perangkat objektif telah terhimpun di sisinya, seperti masyarakat yang siap menaatinya meski tidak dalam jumlah yang dominan dan state atau teritori yang memungkinnya melakukan kontrol terhadap publik. 

Untuk mengukur dan memastikan akseptabiliyas publik, sejumlah opsi bisa diambilnya, antara lain dengan melakukan jajak pendapat, survei, referendum, instruksi yang secara kasat mata diikuti oleh banyak anggota masyarakat, dan mekanisme lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.


Lalu apa yang membedakan antara marja’ dan wali faqih? Banyak sekali yang bisa dijadikan sebagai ciri pembeda, antara lain sebagai berikut :


1. Hubungan faqih, yang tidak memegang wilayah secara aktual namun menjadi marja’, dengan muqallidnya adalah hubungan taqlid. Sedangkan hubungan faqih yang memegang wilayah aktual adalah ketataan. Seorang wali faqih bisa pula memiliki hubungan taqlid dengan muqallidnya apabila ia juga menjadi marja‘.

2. Marja’ berhak melakukan ifta’ (mengeluarkan hasil ijtihad yang bersifat umum (tidak spesifik). Dan menurut pendapat populer, marja’ juga berhak melakukan tahkim dan pengelolaan dana-dana syar’i seperti khumus, nazar, zakat dan sebagainya. Tentu menurut yang meyakini unifikasi marja’iyah-wilayah faqih, wewenang-wewenang ini telah menjadi hak prerogatif wali faqih. Ia berhak untuk menerbitkan keputusan, instruksi dan dektrit terkait dengan masalah-masalah spesifik, kontektual dan penting, seperti perintah perang dan damai.

3. Marja’ tidak memerlukan akseptabilitas untuk menjalankan fungsinya sebagai rujukan. Wali faqih, tanpa aksebtabilitas, secara otomatis kehilangan wewenang aktualnya.

Lalu samakah arti Wali faqih dengan Rahbar, dan Wilayah faqih dan Rahbari (zaa’amah)?
Menurut saya, Wali Faqih adalah seseorang yang menjadi representasi dari lembaga otoritas keagamaan (wilayah faqih) yang bersifat universal tanpa batas geografis, kutur dan lainnya. Sedangkan rahbar, yang berasal dari kata Parsi ‘rah dan bar (jalan dan memandu = pemandu jalan) adalah sebuah predikat yang disandang oleh seseorang yang memegang wewenang tertinggi dalam konstitusi dan undang-undang negara Republik Islam Iran yang hanya mengikat warganegara Iran, Muslim maupun non Muslim.

Dengan kata lain, Seseorang non Iran yang meyakini konsep Wilayah faqih tidak terikat dengan rahbari tidak berada dalam strukturnya. Namun ia, yang tidak berada dalam struktur rahbari, bisa mengikat diri secara kultural dan spiritual dengan Wali faqih. Artinya, instruksi wali faqih bisa berbeda dengan isntruksi rahbar.
Bagaimana membedakannya? Cara membedakannya adalah mengidentifikasi subjek dan objek serta konteks instruksinya. 

Dengan demikian, orang Indonesia yang bermazhab Syiah dan meyakini konsep wilayah faqih hanya terikat secara keagamaan dan kultural dengan figur Sayyid Ali Khamenei, misalnya, yang juga menjadi pemimpin tertinggi di sebuah negara di Timur Tengah, yaitu Iran. Ia juga terikat secara keagamaan denga seorang faqih yang diyakininya sebagai muqallad atau marja’.


Kepatuhan Teologis dan Kepatuhan Konstitusional
Hubungan antara WF, Marja’iyah dan Rahbari perlu diperjelas karena tidak sedikit, terutama kalangan eksternal , yang tidak memahami posisi Wilayatul faqih, marja’ dan rahbar sehingga menafsirkan ketataan kepada sistem kepemimpinan Faqih sebagai keyakinan dan sikap yang tidak harmonis dengan nasionalisme dan kepatuhan konstitusional.

Dari penjelasan diatas, konsep Wilayah Faqih dan relasinya dengan umat di luar Iran mungkin bisa dianalogikan dengan orang Katolik Indonesia yang terikat secara keagamaan dan spiritual dengan Paus dan Geraja Vatikan. Secara kenegaraan, ia terikat dengan undang-undang Indonesia sebagai warganya, tapi itu tidak menafikan keterikatannya dalam struktur keagamaan sebagai umat Katolik. Apalagi salah satu hukum Wali faqih yang sangat populer adalah kewajiban bagi setiap pengikut mazhab Ahlulbait di setiap negara untuk mematuhi konstitusi negaranya masing-masing, bahkan mempertahankanya dengan tidak mengabaikan sikap kritis dan partisipasi intens dalam segala bidang kemasyarakatan. Apa yang diperagakan oleh Hezbollah di Lebanon dapat menjadi bukti nyata betapa kepatuhan kepada sistem hirarki Wilayah Faqih meniscayakan kepedulian terhadap Tanah Air, termasuk mempertahankan kesatuan dan persatuannya.

Artinya, setiap manusia syi’i di Indonesia terikat dengan undang-undang dan sistem negara Indonesia. Lagi-lagi, ini menurut saya yang sangat awam tentang WF, Rahbari, dan Marja’iyah. Karena itu, saya setuju dengan slogan, Islam Yes, Syiah Ok, Indonesia, Sure! Syiah Merah Putih! ( http://syiahali.wordpress.com.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar